Lalu apa bedanya mendidik dan mengajar?
Apa beda antara menerbangkan pesawat besar A380 500 penumpang dengan pesawat kecil twin otter 6 penumpang? Dua-duanya bisa terbang, bahkan twin otter lebih cepat terbang. Tapi muatannya lebih banyak pesawat besar, tentu saja. Bedanya adalah pada panjang landasan. Pesawat kecil landasannya pendek, pesawat besar harus panjang.
Mengapa cobek batu jauh lebih murah daripada keramik cina? Perbandingan harganya bisa mencapai ribuan kali lipat. Mengapa? Karena proses pembuatan keramik cina lebih sulit. Namun hasil keramik cina jauh lebih bermutu tinggi.
Itulah beda mengajar dengan mendidik. Mendidik memerlukan landasan yang panjang dan ketelatenan proses yang sulit. Agar hasilnya mampu mengangkat beban berat dan berkualitas tinggi.
Pada prinsipnya PENDIDIKAN menjalankan tiga fungsi sekaligus :
Apa beda antara menerbangkan pesawat besar A380 500 penumpang dengan pesawat kecil twin otter 6 penumpang? Dua-duanya bisa terbang, bahkan twin otter lebih cepat terbang. Tapi muatannya lebih banyak pesawat besar, tentu saja. Bedanya adalah pada panjang landasan. Pesawat kecil landasannya pendek, pesawat besar harus panjang.
Mengapa cobek batu jauh lebih murah daripada keramik cina? Perbandingan harganya bisa mencapai ribuan kali lipat. Mengapa? Karena proses pembuatan keramik cina lebih sulit. Namun hasil keramik cina jauh lebih bermutu tinggi.
Itulah beda mengajar dengan mendidik. Mendidik memerlukan landasan yang panjang dan ketelatenan proses yang sulit. Agar hasilnya mampu mengangkat beban berat dan berkualitas tinggi.
Pada prinsipnya PENDIDIKAN menjalankan tiga fungsi sekaligus :
- Pertama, mempersiapkan generasi muda untuk untuk memegang peranan-peranan tertentu pada masa mendatang.
- Kedua, mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang di harapkan.
- Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban.
Butir kedua dan ketiga di atas
memberikan pengertian bahwa Mendidik bukan hanya “Transfer of
Knowledge” tetapi juga “Transfer of Value”. Dengan
demikian pendidikan dapat menjadi helper bagi umat manusia. Sementara Mengajar
hanya sampai pada tataran Transfer of Knowledge.
Dan lebih dalam dari itu dalam pelajaran spiritual, siswa akan diberikan Transmitter Energy dari alam KeTuhanan yaitu Transfer Energi Cahaya Ilahi “Nur Muhammad“, lengkap beserta The Way of Life System yang diperlukan untuk menumbuhkan Sistem Kultivasi di dalam diri siswa.
Sistem Kultivasi ini merupakan sebuah Sistem Sukses Otomatis yang akan membimbing Hati Nurani siswa agar meraih keselamatan dan kesuksesan selama hidup di dunia dan di akhirat. Walaupum sistem ini berasal dari Tradisi Agama Islam sebagai Agama saya, namun aplikasinya bersifat Universal dan dapat digunakan oleh siapa saja. Asal dia mau menjalani Syarat Rukun atau Tata Cara yang berlaku dalam pendidikan Spiritual yang saya berikan. Karena sistem ini berdasarkan Fitrah Dasar Manusia serta berdasarkan Sunnatullah (Hukum Universal Alam Semesta).
Dan lebih dalam dari itu dalam pelajaran spiritual, siswa akan diberikan Transmitter Energy dari alam KeTuhanan yaitu Transfer Energi Cahaya Ilahi “Nur Muhammad“, lengkap beserta The Way of Life System yang diperlukan untuk menumbuhkan Sistem Kultivasi di dalam diri siswa.
Sistem Kultivasi ini merupakan sebuah Sistem Sukses Otomatis yang akan membimbing Hati Nurani siswa agar meraih keselamatan dan kesuksesan selama hidup di dunia dan di akhirat. Walaupum sistem ini berasal dari Tradisi Agama Islam sebagai Agama saya, namun aplikasinya bersifat Universal dan dapat digunakan oleh siapa saja. Asal dia mau menjalani Syarat Rukun atau Tata Cara yang berlaku dalam pendidikan Spiritual yang saya berikan. Karena sistem ini berdasarkan Fitrah Dasar Manusia serta berdasarkan Sunnatullah (Hukum Universal Alam Semesta).
“Education is not preparation for
life; education is life itself“
-
Pendidikan bukanlah persiapan untuk menghadapi kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri -John Dewey-
Pendidikan bukanlah persiapan untuk menghadapi kehidupan, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri -John Dewey-
Secara umum, PENDIDIKAN meliputi 3 hal pokok yang dituju
bagi siswanya, yakni Afektif, Kognitif dan Psikomotorik.
1.
Afektif yakni yang berkaitan dengan sikap, moral, etika, akhlak,
manajemen emosi, dll.
2.
Kognitif yakni yang berkaitan dengan aspek pemikiran, transfer ilmu,
logika, analisis, dll.
3.
Psikomotorik adalah yang berkaitan dengan praktek atau aplikasi apa yang
sudah diperolehnya melalui jalur kognitif.
Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan yang
sekaligus membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga belajar
tetapi lebih ditentukan oleh instingnya, sedangkan manusia belajar berarti
merupakan rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang
lebih berarti. Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakala
anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka akan mendidik anak-anaknya,
begitu juga di sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa diajar
oleh guru dan dosen.
Menurut Paulo Freire, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, sedangkan John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah proses yang dilakukan agar ada perubahan dalam masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebuah proses transfer dan pencarian nilai yang terjadi di level individu maupun masyarakat yang mengarah kepada perubahan kondisi ke arah yang lebih baik. Maka sejatinya pendidikan adalah juga proses pembebasan manusia dari insting hewaniahnya.
Terdapat perbedaan mendasar antara mendidik dan mengajar, beberapa orang mungkin terjebak antara definisi mendidik dengan mengajar. Padahal, terdapat perbedaan yang mendasar antara keduanya. Mengajar merupakan kegiatan teknis keseharian seorang guru. Semua persiapan guru untuk mengajar bersifat teknis. Hasilnya juga dapat diukur dengan instrumen perubahan perilaku yang bersifat verbalistis. Tidak seluruh pendidikan adalah pembelajaran, sebaliknya tidak semua pembelajaran adalah pendidikan. Perbedaan antara mendidik dan mengajar sangat tipis, secara sederhana dapat dikatakan mengajar yang baik adalah mendidik. Dengan kata lain mendidik dapat menggunakan proses mengajar sebagai sarana untuk mencapai hasil yang maksimal dalam mencapai tujuan pendidikan.
Mendidik lebih bersifat kegiatan berkerangka jangka menengah atau jangka panjang. Hasil pendidikan tidak dapat dilihat dalam waktu dekat atau secara instan. Pendidikan merupakan kegiatan integratif olah pikir, olah rasa, dan olah karsa yang bersinergi dengan perkembangan tingkat penalaran peserta didik.
Mengajar yang diikuti oleh kegiatan belajar-mengajar secara bersinergi sehingga materi yang disampaikan dapat meningkatkan wawasan keilmuwan, tumbuhnya keterampilan dan menghasilkan perubahan sikap mental/kepribadian, sesuai dengan nilai-nilai absolute dan nilai-nilai nisbi yang berlaku di lingkungan masyarakat dan bangsa bagi anak didik adalah kegiatan mendidik. Mendidik bobotnya adalah pembentukan sikap mental/kepribadian bagi anak didik , sedang mengajar bobotnya adalah penguasaan pengetahuan, keterampilan dan keahlian tertentu yang berlangsung bagi semua manusia pada semua usia. Contoh seorang guru matematika mengajarkan kepada anak pintar menghitung, tapi anak tersebut tidak penuh perhitungan dalam segala tindakannya, maka kegiatan guru tersebut baru sebatas mengajar belum mendidik.
Tidak setiap guru mampu mendidik walaupun ia pandai mengajar, untuk menjadi pendidik guru tidak cukup menguasai materi dan keterampilan mengajar saja, tetapi perlu memahami dasar-dasar agama dan norma-norma dalam masyarakat, sehingga guru dalam pembelajaran mampu menghubungkan materi yang disampaikannya dengan sikap dan kepribadiaan yang harus tumbuh sesuai dengan ajaran agama dan norma-norma dalam masyarakat.
Proses dalam pendidikan seharusnya dapat menjadi proses pembebasan manusia dari penindasan. Sejarah membuktikan telah begitu banyak proses penindasan terjadi terhadap manusia, bahkan hingga saat ini. Karena baik si penindas, maupun yang tertindas, sama-sama mengalami proses dehumanisasi (kehilangan kemanusiannya) karena menyalahi kodrat manusia itu sendiri. Sejatinya manusia harus dipandang dan diperlakukan sebagai seorang manusia yang memiliki hak dan kewajiban serta sama harkat dan martabatnya dengan manusia lain. Pendidikan pun seharusnya tidak menempatkan guru/pengajar sebagai subjek dan murid/peserta belajar sebagai objek, namun, menempatkan guru/pengajar sebagai subjek (dalam hal ini fasilitator) dan murid/perserta belajar sebagai subjek pula. Sehingga pendidikan kritis pun dapat terwujud dan menghasilkan manusia yang kritis dan mampu membawa perubahan dalam masyarakat ke arah yang lebih baik.
Jadi, jika hasil pengajaran dapat dilihat dalam waktu singkat atau paling lama tiga tahun, keluaran pendidikan tidak dapat dilihat sebagai satu hasil yang segmentatif. Hasil pendidikan tercermin dalam sikap, sifat, perilaku, tindakan, gaya menalar, gaya merespons, dan corak pengambilan keputusan peserta didik atas suatu perkara.
Konsep Pendidikan Rasulullah SAW.
Huwalladzii ba’atsa fii al-ummiyyiina rasuulamminhum yatluu ‘alayhim aayaatihi wayuzakkiihim wa yu’allimuhumulkitaaba walhikmata wa-in kaanuu min qablu lafii dhalaalin mubiinin
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (Al-Jumu’ah: 2)
Dari ayat di atas, para mufassirin menerangkan bahwa di antara tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam kepada umatnya adalah:
Menurut Paulo Freire, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, sedangkan John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah proses yang dilakukan agar ada perubahan dalam masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebuah proses transfer dan pencarian nilai yang terjadi di level individu maupun masyarakat yang mengarah kepada perubahan kondisi ke arah yang lebih baik. Maka sejatinya pendidikan adalah juga proses pembebasan manusia dari insting hewaniahnya.
Terdapat perbedaan mendasar antara mendidik dan mengajar, beberapa orang mungkin terjebak antara definisi mendidik dengan mengajar. Padahal, terdapat perbedaan yang mendasar antara keduanya. Mengajar merupakan kegiatan teknis keseharian seorang guru. Semua persiapan guru untuk mengajar bersifat teknis. Hasilnya juga dapat diukur dengan instrumen perubahan perilaku yang bersifat verbalistis. Tidak seluruh pendidikan adalah pembelajaran, sebaliknya tidak semua pembelajaran adalah pendidikan. Perbedaan antara mendidik dan mengajar sangat tipis, secara sederhana dapat dikatakan mengajar yang baik adalah mendidik. Dengan kata lain mendidik dapat menggunakan proses mengajar sebagai sarana untuk mencapai hasil yang maksimal dalam mencapai tujuan pendidikan.
Mendidik lebih bersifat kegiatan berkerangka jangka menengah atau jangka panjang. Hasil pendidikan tidak dapat dilihat dalam waktu dekat atau secara instan. Pendidikan merupakan kegiatan integratif olah pikir, olah rasa, dan olah karsa yang bersinergi dengan perkembangan tingkat penalaran peserta didik.
Mengajar yang diikuti oleh kegiatan belajar-mengajar secara bersinergi sehingga materi yang disampaikan dapat meningkatkan wawasan keilmuwan, tumbuhnya keterampilan dan menghasilkan perubahan sikap mental/kepribadian, sesuai dengan nilai-nilai absolute dan nilai-nilai nisbi yang berlaku di lingkungan masyarakat dan bangsa bagi anak didik adalah kegiatan mendidik. Mendidik bobotnya adalah pembentukan sikap mental/kepribadian bagi anak didik , sedang mengajar bobotnya adalah penguasaan pengetahuan, keterampilan dan keahlian tertentu yang berlangsung bagi semua manusia pada semua usia. Contoh seorang guru matematika mengajarkan kepada anak pintar menghitung, tapi anak tersebut tidak penuh perhitungan dalam segala tindakannya, maka kegiatan guru tersebut baru sebatas mengajar belum mendidik.
Tidak setiap guru mampu mendidik walaupun ia pandai mengajar, untuk menjadi pendidik guru tidak cukup menguasai materi dan keterampilan mengajar saja, tetapi perlu memahami dasar-dasar agama dan norma-norma dalam masyarakat, sehingga guru dalam pembelajaran mampu menghubungkan materi yang disampaikannya dengan sikap dan kepribadiaan yang harus tumbuh sesuai dengan ajaran agama dan norma-norma dalam masyarakat.
Proses dalam pendidikan seharusnya dapat menjadi proses pembebasan manusia dari penindasan. Sejarah membuktikan telah begitu banyak proses penindasan terjadi terhadap manusia, bahkan hingga saat ini. Karena baik si penindas, maupun yang tertindas, sama-sama mengalami proses dehumanisasi (kehilangan kemanusiannya) karena menyalahi kodrat manusia itu sendiri. Sejatinya manusia harus dipandang dan diperlakukan sebagai seorang manusia yang memiliki hak dan kewajiban serta sama harkat dan martabatnya dengan manusia lain. Pendidikan pun seharusnya tidak menempatkan guru/pengajar sebagai subjek dan murid/peserta belajar sebagai objek, namun, menempatkan guru/pengajar sebagai subjek (dalam hal ini fasilitator) dan murid/perserta belajar sebagai subjek pula. Sehingga pendidikan kritis pun dapat terwujud dan menghasilkan manusia yang kritis dan mampu membawa perubahan dalam masyarakat ke arah yang lebih baik.
Jadi, jika hasil pengajaran dapat dilihat dalam waktu singkat atau paling lama tiga tahun, keluaran pendidikan tidak dapat dilihat sebagai satu hasil yang segmentatif. Hasil pendidikan tercermin dalam sikap, sifat, perilaku, tindakan, gaya menalar, gaya merespons, dan corak pengambilan keputusan peserta didik atas suatu perkara.
Konsep Pendidikan Rasulullah SAW.
Huwalladzii ba’atsa fii al-ummiyyiina rasuulamminhum yatluu ‘alayhim aayaatihi wayuzakkiihim wa yu’allimuhumulkitaaba walhikmata wa-in kaanuu min qablu lafii dhalaalin mubiinin
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (Al-Jumu’ah: 2)
Dari ayat di atas, para mufassirin menerangkan bahwa di antara tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam kepada umatnya adalah:
1.
Membacakan ayat-ayat Allah
2.
MenTazkyiyah Nafs (mengKultivasi)
atau mensucikan mereka
3.
Mengajarkan kitab dan Himah kepada
mereka.
Dan dari
ayat di atas juga bisa diketahui bahwa umat manusia sebelum datangnya
Rasulullah, dalam keadaan sesat yang nyata, yang berupa kemusyrikan,
kemerosotan akhlak dan mereka dalam puncak Perubahan besar yang dibentuk
Rasulullah saw di tengah-tengah kehidupan manusia tidak pernah ada tandingannya
sepanjang sejarah. Meski dalam keadaan yang sangat sulit, sarana dan prasarana
seadanya, dan dukungan massa terbatas. Tak ada kata putus asa. Hingga beliau
saw mampu mengikis akar pemikiran dan tradisi jahiliyah kaumnya yang. Usaha
keras Rasulullah saw berhasil membongkar pohon jahiliyah yang tertanam kuat di
dalam hati kaum jahiliyah.
Beliau saw berhasil membangun peradaban dan budaya pencerahan yang gemilang. Islam berdiri tegak di atas puing-puing kejahiliyahan dan kondisi sosial primitif yang berkepanjangan.
Hal itu tidak lain, karena beliau saw memiliki metode pendidikan dan pengajaran yang tepat dan brilian. Metode yang menyinergikan akhlak mulia dengan ilmu pengetahuan, mengedepankan praktek daripada teori, bertahap dan berkesinambungan, mengorelasikan teori pengetahuan dengan percobaan. Kesuksesan itu karena metode yang dikawal dari Allah SWT yang ilmu-Nya meliputi segala tempat dan zaman.
Beliau telah meretas jalan sukses dalam bidang pendidikan dan pengajaran. sehingga mampu para sahabatnya sebagai generasi yang sanggup memikul amanah. Para sahabat radiallahu anhum kepada generasi berikutnya, melestarikan peradaban Islam yang rahmatan lil alamin. Meski Rasulullah saw wafat menghadap Tuhan semesta alam.
Hakekat dan Tujuan Pendidikan Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT adalah seorang pendidik (al-Jumu’ah: 2; al-Baqarah 151). Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa misi dan tugas Nabi sebagai seorang Rasul adalah membacakan ayat-ayat-Nya (tilawah), mensucikan jiwa (tazkiyah) yang diartikan dengan mendidik, serta mengajarkan al-Kitab dan al-hikmah (ta’lim), yang berarti proses mengajar untuk membekali seseorang dengan berbagai ilmu pengetahuan, baik yang terkait dengan alam nyata maupun metafisika, yang tetap bersandar pada al-Qur’an an as-sunnah. Tujuan pembacaan, penyucian dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada Allah, sejalan dengan tujuan penciptaan manusia. Ketiga tugas tersebut dapat diidentikkan dengan fungsi pendidikan dan pengajaran yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW sebagai seorang pendidik. Jadi, pendidikan yang baik dan ideal harus mengandung ketiga unsur tersebut.
Rasulullah dengan cara di atas telah sukses mendidik para sahabatnya menjadi masyarakat yang berbudi tinggi dan mulia, dari masyarakat jahiliyah menjadi bangsa yang berbudaya, bermoral, serta berpengetahuan. Jadi, pendidikan tidak hanya menekankan pada orientasi intelektualitas semata, tetapi juga menekankan pada pembentukan kepribadian yang utuh, yang tercerminkan dalam aktifitas tilawah, tazkiyah, dan ta’lim. Pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya, sehingga mampu mengemban tugas sebagai ‘Abdullah dan Khalifatullah adalah tujuan pendidikan Qur’ani.
Selain itu, al-Baqarah 31 menunjukkan proses ta’lim, yaitu ketika Allah SWT mengajarkan (‘allama) nama-nama kepada Nabi Adam. Allah mengajari Nabi Adam nama-nama benda seluruhya, yakni pengetahuan tentang nama-nama benda serta menjelaskan fungsi-fungsinya. Dengan demikian, secara spesifik maka ta’lim berarti bimbingan yang menekankan kepad aspek peningkatan intelektualitas peserta didik, itu tersirat dalam proses penciptaan Nabi Adam, dimana Allah mengajarkan kepadanya nama-nama sebagai bekal menjadi khalifah.
Tujuan pendidikan adalah untuk menjadi hamba Allah SWT yang taat (adz-Dzaariyaat: 56; al-An’am, 162). Jadi, tujuan pendidikan tidak hanya berorientasi pada kepandaian akal semata, tetapi untuk memperoleh hidayah dan kesucian hati. Ilmu pengetahuan harus menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga ilmu harus dipenuhi dengan nilai-nilai ketuhanan (bismi rabbika).
Al-Qur’an menggambarkan profil hamba Allah yang ideal, yang tentunya menjadi orientasi pendidikan Qur’ani. Mereka adalah orang-orang yang berakidah lurus, beribadah secara istiqomah dan penuh ketundukan, serta mempunyai akhlak yang luhur. Mereka memiliki sikap rendah hati, tidak sombong, berbicara dengan kata-kata yang baik, dan tidak menanamkan kebencian, serta jika mereka dicela, dibalasnya dengan cara yang baik. Mereka orang-orang yang menghabiskan sebagian malamnya untuk melakukan shalat serta ‘amal shalih lainnya, selalu memohon dihindarkan dari adzab neraka, dan proporsional dalam membelanjakan harta. Mereka juga tidak berlaku syirik, membunuh, ataupun berzina, tidak memberikan kesaksian palsu dan tidak melakukan hal-hal yang tercela. (al-Furqan 63-77)
Tujuan pendidikan Qur’ani adalah membentuk generasi rabbaniyyiin (ali Imran 79). Yaitu orang-orang yang berilmu, namun tetap ikhlas dalam beribadah kepada Allah SWT, bertakwa, mawas diri dalam berbicara dan bertindak, memadukan antara ilmu dan amal, serta mengabdikan dirinya untuk mengajarkan manusia sesuatu yang bermanfaat. Ilmu pengetahuan, pengajaran, dan proses belajar seharusnya mengantarkan seseorang kepada tingkat rabbaniy. Jadi, pendidikan moral untuk mencapai akhlak yang sempurna adalah jiwa pendidikan Islam. Pengetahuan seharusnya membawa para ilmuwan Muslim untuk beriman, tunduk dan ada rasa takut (khasyyah) kepada Allah SWT (al-Fatir 28).
Kurikulum Pendidikan
Ayat-ayat yang menceritakan pesan-pesan Luqman kepada putranya, yang terangkum dalam QS. 31:16 bisa menjadi acuan untuk menjadi materi (kurikulum) pendidikan. Dalam rangkaian ayat tersebut, Luqman mewasiatkan kepada putranya agar bersyukur, tidak menyekutukan Allah, berbuat baik kepada orang tua, bertindak dengan berdasarkan ilmu, senantiasa merasa diawasi Allah, mendirikan shalat, melakukan amar ma’ruf nahy mungkar, tidak menyombongkan diri, sederhana dalam berjalan dan bersuara. Jika dirangkum, ada tiga pesan penting dalam wasiat-wasiat tersebut; pertama adalah penanaman tauhid, akidah yang lurus, dan pengenalan akan keagungan Allah SWT. Jadi, fokus utama pendidikan Qur’ani adalah pendidikan iman.
Sebab jika iman sudah benar dan tertancap kuat dalam hati, maka akan luruslah semua aspek kehidupan seseorang. Kedua, penegasan untuk mentaati perintah-perintah Allah SWT (syari’at). Ketiga pengajaran tentang etika sosial berupa sifat sabar, gemar berterima kasih, cara berjalan yang baik, merendahkan suara, dan tidak sombong. Semua itu sejalan dengan perintah al-Qur’an yang lain bagi para orang tua sebagai pendidik, seperti perintah untuk mendirikan shalat (Thaha:132), dan perintah menjaga anggota keluarga dari api neraka (at-Tahrim:6).
Meskipun fokus utama materi pendidikan al-Qur’an adalah terkait dengan akidah, ibadah, dan akhlak, tetapi bukan berarti aspek-aspek lainnya diabaikan. Materi yang sudah disebutkan di atas, diberi perhatian lebih awal karena ia akan menjadi pondasi pembentukan karakter seorang mu’min yang berakidah lurus dan kokoh, beribadah benar dan istiqomah, serta berakhlak terpuji yang mendarah daging. Banyak ayat lain dalam al-Qur’an yang berulang-kali meminta manusia menggunakan akal dan panca inderanya untuk membaca tanda-tanda alam sebagai bentuk kekuasaan Allah (Yunus: 101; an-Nahl:78 ; al-Jatsiyah: 13 dan al-Baqarah: 31).
Jadi al-Qur’an tidak hanya mendorong belajar ilmu akidah, syari’ah dan akhlak saja. Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan lainnya. Al-Qur’an menetapkan alam semesta ini adalah ‘buku’ yang harus dibaca untuk menuju ma’rifatullah. Al-Qur’an mendorong pembelajaran dalam konteks yang seluas-luasnya. Jadi, seorang muslim wajib belajar sains, karena sains menjadi salah satu alat untuk membuktikan kekuasaan Allah, selain ayat-ayat tanziliyah (wahyu).
Potret manusia yang ingin dihasilkan oleh pendidikan Qur’ani adalah Ulil Albab, “Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka jagalah kami dari siksa api neraka.” (Ali Imran 191). Itulah cermin manusia seutuhnya yang menggunakan hati dan fikirannya untuk selalu berdzikir kepada Allah, bertafakkur, dan mengamati alam semesta. Kurikulum pendidikan Qur’ani tidak memisahkan secara dikotomis antara pendidikan ‘agama’ dan pendidikan ‘umum’. Sebab pada dasarnya semua yang ada di alam semesta ini, sebagaimana Wahyu bersumber dari Allah SWT.
Berbeda dengan objek ilmu di Barat- pengetahuan versi al-Qur’an tidak terbatas pada apa yang bisa diindera saja, melainkan mencakup juga apa yang tidak bisa diindera (al-Haqqah: 38-39). Yang tidak bisa diindera ini (al-ghayb) tentunya hanya bisa diterima dengan pendekatan keimanan, yang dalam prakteknya biasanya bisa dipelajari dan diperoleh dengan meningkatkan kualitas ketakwaan, kesungguhan serta istiqomah dalam beribadah.
Jadi, antara wahyu dan akal, atau iman dan ilmu tidak boleh dipisahkan, karena akan menurunkan martabat manusia itu sendiri. Iman tanpa ilmu akan menimbulkan keterbelakangan, takhayul dan kebodohan. Sebaliknya, ilmu tanpa iman akan mengumbar nafsu, kesombongan, kerakusan, penindasan dan penipuan. Konsep pendidikan Qur’ani menawarkan sesuatu yang holistik yang memadukan agama dan sains dan menekankan aspek ukhrawi dan duniawi. Tidak mungkin manusia bisa mencapai kebahagiaan akhirat tanpa melalui jalan dunia. Sebaliknuya, tanpa pengetahuan ‘ukhrawi’ niscaya kehidupan seseorang di dunia akan hampa tanpa tujuan. Kebahagiaan dunia akan tidak berguna, jika kelak di akhirat sengsara (al-Qasash: 77 dan al-Baqarah: 201).
Kesimpulannya, konsep pendidikan menurut al-Qur’an diarahkan untuk mengembangkan berbagai potensi manusia semaksimal mungkin, sehingga akan bermanfaat dan juga menghasilkan rasa takut kepada Allah SWT.
Semoga bermanfaat.. (POSTED BY CIMENKF1)
Beliau saw berhasil membangun peradaban dan budaya pencerahan yang gemilang. Islam berdiri tegak di atas puing-puing kejahiliyahan dan kondisi sosial primitif yang berkepanjangan.
Hal itu tidak lain, karena beliau saw memiliki metode pendidikan dan pengajaran yang tepat dan brilian. Metode yang menyinergikan akhlak mulia dengan ilmu pengetahuan, mengedepankan praktek daripada teori, bertahap dan berkesinambungan, mengorelasikan teori pengetahuan dengan percobaan. Kesuksesan itu karena metode yang dikawal dari Allah SWT yang ilmu-Nya meliputi segala tempat dan zaman.
Beliau telah meretas jalan sukses dalam bidang pendidikan dan pengajaran. sehingga mampu para sahabatnya sebagai generasi yang sanggup memikul amanah. Para sahabat radiallahu anhum kepada generasi berikutnya, melestarikan peradaban Islam yang rahmatan lil alamin. Meski Rasulullah saw wafat menghadap Tuhan semesta alam.
Hakekat dan Tujuan Pendidikan Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT adalah seorang pendidik (al-Jumu’ah: 2; al-Baqarah 151). Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa misi dan tugas Nabi sebagai seorang Rasul adalah membacakan ayat-ayat-Nya (tilawah), mensucikan jiwa (tazkiyah) yang diartikan dengan mendidik, serta mengajarkan al-Kitab dan al-hikmah (ta’lim), yang berarti proses mengajar untuk membekali seseorang dengan berbagai ilmu pengetahuan, baik yang terkait dengan alam nyata maupun metafisika, yang tetap bersandar pada al-Qur’an an as-sunnah. Tujuan pembacaan, penyucian dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada Allah, sejalan dengan tujuan penciptaan manusia. Ketiga tugas tersebut dapat diidentikkan dengan fungsi pendidikan dan pengajaran yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW sebagai seorang pendidik. Jadi, pendidikan yang baik dan ideal harus mengandung ketiga unsur tersebut.
Rasulullah dengan cara di atas telah sukses mendidik para sahabatnya menjadi masyarakat yang berbudi tinggi dan mulia, dari masyarakat jahiliyah menjadi bangsa yang berbudaya, bermoral, serta berpengetahuan. Jadi, pendidikan tidak hanya menekankan pada orientasi intelektualitas semata, tetapi juga menekankan pada pembentukan kepribadian yang utuh, yang tercerminkan dalam aktifitas tilawah, tazkiyah, dan ta’lim. Pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya, sehingga mampu mengemban tugas sebagai ‘Abdullah dan Khalifatullah adalah tujuan pendidikan Qur’ani.
Selain itu, al-Baqarah 31 menunjukkan proses ta’lim, yaitu ketika Allah SWT mengajarkan (‘allama) nama-nama kepada Nabi Adam. Allah mengajari Nabi Adam nama-nama benda seluruhya, yakni pengetahuan tentang nama-nama benda serta menjelaskan fungsi-fungsinya. Dengan demikian, secara spesifik maka ta’lim berarti bimbingan yang menekankan kepad aspek peningkatan intelektualitas peserta didik, itu tersirat dalam proses penciptaan Nabi Adam, dimana Allah mengajarkan kepadanya nama-nama sebagai bekal menjadi khalifah.
Tujuan pendidikan adalah untuk menjadi hamba Allah SWT yang taat (adz-Dzaariyaat: 56; al-An’am, 162). Jadi, tujuan pendidikan tidak hanya berorientasi pada kepandaian akal semata, tetapi untuk memperoleh hidayah dan kesucian hati. Ilmu pengetahuan harus menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga ilmu harus dipenuhi dengan nilai-nilai ketuhanan (bismi rabbika).
Al-Qur’an menggambarkan profil hamba Allah yang ideal, yang tentunya menjadi orientasi pendidikan Qur’ani. Mereka adalah orang-orang yang berakidah lurus, beribadah secara istiqomah dan penuh ketundukan, serta mempunyai akhlak yang luhur. Mereka memiliki sikap rendah hati, tidak sombong, berbicara dengan kata-kata yang baik, dan tidak menanamkan kebencian, serta jika mereka dicela, dibalasnya dengan cara yang baik. Mereka orang-orang yang menghabiskan sebagian malamnya untuk melakukan shalat serta ‘amal shalih lainnya, selalu memohon dihindarkan dari adzab neraka, dan proporsional dalam membelanjakan harta. Mereka juga tidak berlaku syirik, membunuh, ataupun berzina, tidak memberikan kesaksian palsu dan tidak melakukan hal-hal yang tercela. (al-Furqan 63-77)
Tujuan pendidikan Qur’ani adalah membentuk generasi rabbaniyyiin (ali Imran 79). Yaitu orang-orang yang berilmu, namun tetap ikhlas dalam beribadah kepada Allah SWT, bertakwa, mawas diri dalam berbicara dan bertindak, memadukan antara ilmu dan amal, serta mengabdikan dirinya untuk mengajarkan manusia sesuatu yang bermanfaat. Ilmu pengetahuan, pengajaran, dan proses belajar seharusnya mengantarkan seseorang kepada tingkat rabbaniy. Jadi, pendidikan moral untuk mencapai akhlak yang sempurna adalah jiwa pendidikan Islam. Pengetahuan seharusnya membawa para ilmuwan Muslim untuk beriman, tunduk dan ada rasa takut (khasyyah) kepada Allah SWT (al-Fatir 28).
Kurikulum Pendidikan
Ayat-ayat yang menceritakan pesan-pesan Luqman kepada putranya, yang terangkum dalam QS. 31:16 bisa menjadi acuan untuk menjadi materi (kurikulum) pendidikan. Dalam rangkaian ayat tersebut, Luqman mewasiatkan kepada putranya agar bersyukur, tidak menyekutukan Allah, berbuat baik kepada orang tua, bertindak dengan berdasarkan ilmu, senantiasa merasa diawasi Allah, mendirikan shalat, melakukan amar ma’ruf nahy mungkar, tidak menyombongkan diri, sederhana dalam berjalan dan bersuara. Jika dirangkum, ada tiga pesan penting dalam wasiat-wasiat tersebut; pertama adalah penanaman tauhid, akidah yang lurus, dan pengenalan akan keagungan Allah SWT. Jadi, fokus utama pendidikan Qur’ani adalah pendidikan iman.
Sebab jika iman sudah benar dan tertancap kuat dalam hati, maka akan luruslah semua aspek kehidupan seseorang. Kedua, penegasan untuk mentaati perintah-perintah Allah SWT (syari’at). Ketiga pengajaran tentang etika sosial berupa sifat sabar, gemar berterima kasih, cara berjalan yang baik, merendahkan suara, dan tidak sombong. Semua itu sejalan dengan perintah al-Qur’an yang lain bagi para orang tua sebagai pendidik, seperti perintah untuk mendirikan shalat (Thaha:132), dan perintah menjaga anggota keluarga dari api neraka (at-Tahrim:6).
Meskipun fokus utama materi pendidikan al-Qur’an adalah terkait dengan akidah, ibadah, dan akhlak, tetapi bukan berarti aspek-aspek lainnya diabaikan. Materi yang sudah disebutkan di atas, diberi perhatian lebih awal karena ia akan menjadi pondasi pembentukan karakter seorang mu’min yang berakidah lurus dan kokoh, beribadah benar dan istiqomah, serta berakhlak terpuji yang mendarah daging. Banyak ayat lain dalam al-Qur’an yang berulang-kali meminta manusia menggunakan akal dan panca inderanya untuk membaca tanda-tanda alam sebagai bentuk kekuasaan Allah (Yunus: 101; an-Nahl:78 ; al-Jatsiyah: 13 dan al-Baqarah: 31).
Jadi al-Qur’an tidak hanya mendorong belajar ilmu akidah, syari’ah dan akhlak saja. Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan lainnya. Al-Qur’an menetapkan alam semesta ini adalah ‘buku’ yang harus dibaca untuk menuju ma’rifatullah. Al-Qur’an mendorong pembelajaran dalam konteks yang seluas-luasnya. Jadi, seorang muslim wajib belajar sains, karena sains menjadi salah satu alat untuk membuktikan kekuasaan Allah, selain ayat-ayat tanziliyah (wahyu).
Potret manusia yang ingin dihasilkan oleh pendidikan Qur’ani adalah Ulil Albab, “Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka jagalah kami dari siksa api neraka.” (Ali Imran 191). Itulah cermin manusia seutuhnya yang menggunakan hati dan fikirannya untuk selalu berdzikir kepada Allah, bertafakkur, dan mengamati alam semesta. Kurikulum pendidikan Qur’ani tidak memisahkan secara dikotomis antara pendidikan ‘agama’ dan pendidikan ‘umum’. Sebab pada dasarnya semua yang ada di alam semesta ini, sebagaimana Wahyu bersumber dari Allah SWT.
Berbeda dengan objek ilmu di Barat- pengetahuan versi al-Qur’an tidak terbatas pada apa yang bisa diindera saja, melainkan mencakup juga apa yang tidak bisa diindera (al-Haqqah: 38-39). Yang tidak bisa diindera ini (al-ghayb) tentunya hanya bisa diterima dengan pendekatan keimanan, yang dalam prakteknya biasanya bisa dipelajari dan diperoleh dengan meningkatkan kualitas ketakwaan, kesungguhan serta istiqomah dalam beribadah.
Jadi, antara wahyu dan akal, atau iman dan ilmu tidak boleh dipisahkan, karena akan menurunkan martabat manusia itu sendiri. Iman tanpa ilmu akan menimbulkan keterbelakangan, takhayul dan kebodohan. Sebaliknya, ilmu tanpa iman akan mengumbar nafsu, kesombongan, kerakusan, penindasan dan penipuan. Konsep pendidikan Qur’ani menawarkan sesuatu yang holistik yang memadukan agama dan sains dan menekankan aspek ukhrawi dan duniawi. Tidak mungkin manusia bisa mencapai kebahagiaan akhirat tanpa melalui jalan dunia. Sebaliknuya, tanpa pengetahuan ‘ukhrawi’ niscaya kehidupan seseorang di dunia akan hampa tanpa tujuan. Kebahagiaan dunia akan tidak berguna, jika kelak di akhirat sengsara (al-Qasash: 77 dan al-Baqarah: 201).
Kesimpulannya, konsep pendidikan menurut al-Qur’an diarahkan untuk mengembangkan berbagai potensi manusia semaksimal mungkin, sehingga akan bermanfaat dan juga menghasilkan rasa takut kepada Allah SWT.
Semoga bermanfaat.. (POSTED BY CIMENKF1)
0 komentar:
Posting Komentar